3 Maret 2013
Pagi buta aku terbangun dari tidurku. Ku lihat kamarku yang gelap
karena lampu kamarku selalu kumatikan setiap tidur. Kuingat bahwa hari ini aku
akan mengikuti try out STIS di Darmajaya, Bandar Lampung. Aku beranjak dari
tempat tidurku lalu kuambil HP nokia silverku. Waktu telah menunjukkan pukul
lima lewat.
Segera kubuka kelambu yang tempat keluarnya tepat berada di sebelah
kiriku. Kuterangi kamarku dengan lampu putih yang sangat menyilaukan mata saat
itu. Seluruh isi kamarku pun terang benderang. Dinding-dinding pink turut
menyilaukan mataku dengan pantulan cahayanya. Begitu juga sebuah lemari merah
yang terletak di sebelah kiri kakiku ketika aku tidur turut membuat mataku semakin merasa silau. Di bagian tengah
atas kaca lemari itu terdapat tulisan arab basmalah berwarna hijau yang membuat
aku teringat pada Sang Kuasa ketika melihatnya.
Aku segera menuju sumur yang terletak di ujung belakang kamarku.
Disini tak seberapa silaunya. Lampu kecil lima watt membuat pagi itu semakin
terasa pagi. Dan langit yang masih hitam kebiruan diatasnya. Ku guyur tangan
dan kakiku dari seember air yang kuambil sendiri dari sumur itu dengan sebuah
gayung merah. Dinginnya pagi itu semakin
menjadi-jadi ketika guyuran air itu membasmi kulitku.
Kudekatkan diriku pada-Nya dan aku berdoa atas apa-apa yang jadi
permintaanku pada-Nya di atas sajadah biru dengan rumbai-rumbai yang telah
gundul di bagian atasnya. Lalu segera kulipat sajadah itu untuk kugantungkan di
dinding dekat pintu bersama handuk merah dan sarung coklatku.
Semua yang aku butuhkan untuk berangkat ke Darmajaya segera kusiapkan.
Sebuah celana jeans dan kaos hitam untuk aku gunakan serta jaket putih dari
sisa peninggalan kelas sembilan untuk melindungiku dari dinginnya perjalanan
nanti. Tak lupa juga celana jeans hitama dan kemeja biru menjadi pakaian untuk berjaga-jaga siapa tahu hujan akan
menghadangku di perjalanan.
Ku taruh semua itu di atas kasur yang kelambunya telah aku masukkan
pada sebuah kotak yang terletak di bagian kanan dipan. Terdapat sebuah Al-Quran
hiaju kecil dan sebuah obat nyamuk semprot di sampingnya.
Lantas aku menuju meja belajarku yang tak jauh dari kamar. Aku
keluarkan isi tasku yang dipenuhi dengan soal-soal dan aku sisakan sebuah buku
tulis yang mungkin bisa saja berguna nantinya.
Seusai mandi dan memakai baju yang telah aku siapkan sebelumnya, aku
segera ke meja makan. Disana telah tersedia semangkuk mie telur buatan ibuku.
Ku tambah dengan sedikit nasi untuk semakin menambah energi. Mie dan nasi yang panas itu telah
membuat tubuhku terasa lebih enak dari sebelumnya yang dingin sekali.
Aku terbiasa menghidupkan radio saat sarapan. Channel RRI. Aku arahkan
channelnya ke angka 88 dan agak aku keraskan suaranya. Sayangnya topik bahasan
saat itu kurang menarik bagiku. Tapi tak apalah hanya untuk sekedar menemaniku
makan pagi.
Ayahku telah mengeluarkan motor Revoku. Motor berusia lima tahunan itu
masih bisa kuandalkan. Goresan-goresan di badan motor itu semakin mempertegas
berapa umurnya. Namun terdapat logo Chelsea di jok bagian belakang sehingga
motor itu terlihat lebih keren.
Aku telah siap begitu juga motorku. Ayah dan ibuku tepat berada di
belakangku ketika aku pergi. Aku sempat berpamitan kepada mereka. Kulihat pagi
masih buta. Gelap, sunyi, dan dingin. Untungnya tangki bensin motorku masih
terisi. Setidaknya setengahnya. Kurasa cukup bila hanya pulang pergi ke rumah
Viko, teman yang aku akan bersamanya ke Darmajaya.
Tak terdengar apapun diperjalanan kecuali aungan motorku. Dinginnya
pagi itu tak seberapa kurasakan karena jaketku cukup tebal untuk
menghalanginya. Gelapnya jalanan kutembus dengan lampu motor yang masih
berfungsi dengan baik. Langitpun masih gelap kebiruan. Mentari masih
membutuhkan waktu untuk menampakkan dirinya.
Putaran demi putaran roda. Sambil kuingat bahwa aku baru dua kali ke
rumah Viko. Aku mungkin saja lupa jalan menuju ke rumahnya. Akupun mempercepat
laju motorku agar aku masih punya waktu untuk mencari rumahya.
Motorku terus berpacu. Membelah dingin. Menembus gelap. Menepis sunyi.
Aku lewat di depan gang rumah Ilham. Ada masjid disana yang membuat
aku mengenali gang itu. Dari situ aku mulai memperlambat laju motorku. Kulihat
ke arah kanan sambil mencari gang rumah Viko. Ada sebuah gang dengan rumah
berwarna kuning di sebelahnya. Aku mendekat. Ternyata itu bukan gang melainkan
garasi rumah kuning tersebut.
Sambil kubawa motorku pelan aku
menemukan sebuah gang. Bertuliskan jalan Raflesia. Aku kira itu gangnya. Ya.
Aku yakin. Di jalanan yang masih sepi aku mengarahkan motorku untuk masuk gang
tersebut. Ya tak salah lagi. Inilah gangnya. Dan kutemukan rumah Viko.
Kuhentikan motorku di depan rumahnya. Tak lama kemudian ia keluar
dengan baju singletnya meminta aku untuk masuk. Aku hanya diam. Lalu ia masuk
lagi ke rumahnya. Segera kubuka gerbang kurang dari satu meter kira-kira cukup
untuk motorku masuk. Aku masuk. Sambil aku menunggu dia, aku melihat-lihat
rumah tetangganya. Itu adalah rumah Tara, temanku saat di kelas tujuh.
Aku melepaskan jaketku. Agak sedikit kotor. Kurasa akibat burung-burung
yang menabrakkan badannya saat di perjalanan tadi. Agak lama aku menunggu. Aku
duduk di kursi depan rumah Viko. Barulah ia keluar. Dengan jaket putih dan
celana jeansnya ia mengeluarkan motor Vixion yang selalu ia bawa ke
sekolah.
Kupikir aku akan menitipkan motorku di rumahnya tapi ia memintaku untuk
menitipkan di rumah Puji karena kami akan ke rumah Puji terlabih dahulu sebelum
berangkat.
Kami pun segera berangkat. Di pertigaan Ganjar Agung kulihat sudah ada
Mustika, Ilham, dan Ichwan. Mereka sedang menunggu Sukri. Kami ikut bergabung
bersama mereka. Viko yang belum sarapan pun menyempatkan untuk makan disitu.
Tak lama kemudian Suci dan Ayahnya lewat di sebelah kami. Viko yang merasa
kenal dengan ayahnya Suci merasa malu. Tapi ku pikir itu biasa saja. Setelah
Viko menyelesaikan makannya, barulah Sukri datang. Dengan wajah orang sakit
yang lemas. Ia seperti tak kuasa membawa motor apalagi membonceng Mustika. Tapi
ia tetap memaksakan dirinya.
Ichwan tak sabar untuk segera ke rumah Puji. Maklum ia pacar Puji. Ia
di depan saat kami ke rumah Puji. Aku dan Viko yang berangkat belakangan
membawa motor kami dengan kebut. Sempat kulihat Suci dan ayahnya di pinggir
jalan. Suci dengan baju dan jilbab abu-abunya sedang duduk di trotoar sambil
menggenggam handphone sementara ayahnya duduk di atas motor. Kurasa ada yang sedang
mereka tunggu.
Ini dalah pertama kalinya aku ke rumah Puji. Kami melewati jembatan
yang tepat berada di sebelah kiri kami. Di sebelah kiri jembatan itu terdapat
pohon yang sangat besar. Ketika tiba di rumah Puji, aku sempat kaget. Tak
seperti rumah-rumah anak-anak smansa yang aku tahu. Rumahnya tergolong
sederhana. Bertetangga dengan padi-padi yang hijau. Ada sebuah pohon di depan
rumahnya dan beberapa pot kosong dibawahnya. Ibunya sedang membersihkan halaman
rumah.
Kutitipkan motorku disitu. Perjalanan pun dimulai.
Aku bersama Viko, Mustika dan Sukri, Puji dan Ichwan, sedangkan Ilham
sendirian. Di tengah
perjalanan yang begitu panjang, ada banyak cerita yang
terjadi. Eantah mau jatuh, tertabrak ataupun ditabrak. Tapi dari banyak cerita
itu yang paling mengesankan bagiku adalah ketika ada seseorang yang bersama
(mungkin) anaknya. Ketika aku dan Viko ingin menyalip mereka dari sebelah kanan,
mereka mengarahkan motor mereka ke sebelah kanan juga. Karena laju motor kami
yang begitu kencang, Viko mengarahkan motor kami ke sebelah kiri tapi tiba-tiba
motor mereka juga bergerak ke sebelah kiri. Sontak aku panik. Den gan jarak
yang sudah begitu dekat antara motor kami dan motor orang itu. Kupikir tinggal
menunggu waktu saja tabrakan akan terjadi. Aku ketakutan. Jantungku terasa
berhenti sesaat. Aliran darah pun berhenti seketika. Mataku hanya bisa
memandang apa yang akan terjadi. Untungnya sebelum tabrakan itu benar-benar
terjadi, Viko mengarahkan motor ke tanah sebelah kiri jalan. Tanah berbatu dan
berlubang. Aku sempat terpental dari tempat dudukku. Langsung kupegang pundak
Viko agar aku tidak terjatuh dari motor. Alhamdulillah kami masih selamat.
Allah masih menjaga kami dari malapetaka itu.
Kami sampai di Darmajaya. Kulihat tulisan besar Darmajaya di bagian
atas gedung. Jalanan sangat padat. Bahkan sangat-sangat padat. Maklum saja kota
besar. Kami langsung memarkirkan motor di jajaran motor yang telah terparkir.
Cukup ramai. Ada banyak motor yang telah terparkir di sana. Aku dan
teman-temanku punya sedikit waktu untuk beristirahat sebelum try out dimulai.
Kami mengisi istirahat kami dengan obrolan yang menyegarkan sambil duduk di
kursi biru panjang di bagian belakang gedung.
Setelah itu kami masuk ke dalam gedung. Anak-anak dari sekolah lain
juga sudah pada masuk. Di perjalanan menuju gedung, Viko sempat menanyakan
perihal tiketnya karena ia belum memiliki tiket.
Viko ,” kak... kak Thosan, tiket saya gimana ?
Thosan langsung menjawab,” sono.. sono”.
Dengan nada pelan aku berkata kepada Viko,” susah ngomong sama dia”.
Viko, “ kalo ngomong seenak dia”.
Di pintu masuk aku dan teman-temanku dicegat empat wanita cantik.
Mereka memeriksa tiket kami lalu merobeknya. Salah seorang dari mereka
memintaku untuk menuliskan nama di tiket tersebut. Ia berbaik hati
meminjamkanku pulpennya. Disana juga ada seorang cowo dan seorang cewe sedang
duduk-duduk di depan laptopnya. Mungkin mereka menjual tiket on the spot
dan via internet.
Kami diarahkan ke ruangan di bagian atas gedung. Kami sempat
berkali-kali menaiki anak tangga. Di bagian dinding tangga tersebut terdapat
kertas petunjuk bertuliskan try out nasional stis dan sebuah panah besar
berwarna biru mengarah ke atas.
Ruang tes masih sangat sepi. Baru ada beberapa peserta dan seorang
pengawas cewe. Akupun langsung memilih tempat duduk di bagian tengah. Tak lama
berselang, ruang tes menjadi ramai. Hampir semua bangku kuliah itu terisi penuh
sementara bangku di depan dan di belakangku masih kosong. Ruang tesnya cukup
luas dangan dinding putihnya sementara di bagian belakang adalah dinding kaca
bertirai hijau.
Telah tersedia tiga paket soal berwarna merah muda, kuning dan biru.
Ketiganya adalah matematika, bahasa indonesia dan pengetahuan umum. Pengawas
cantik itu membacakan tata tertib dan meminta kami untuk ke kamar kecil
sekarang jika ingin ke sana karena pada saat tes tidak ada yang boleh ke kamar
kecil.
Tes pun dimulai. Satu demi satu lingkaran-lingkaran kecil di LJKku
terisi. Masing masing paket soal berisi enam puluh soal. Dimulai dari paket
soal yang paling saya suka, matematika selama sembilan puluh menit. Setiap soal
aku baca dengan teliti dan hati-hati. Aku harus mendapatkan skor
sebesar-besarnya disini. Ada soal yang gampang tapi tak sedikit soal yang
susah. Aku hanya mengisi kurang lebih tiga puluh enam soal.
Selanjutnya bahasa inggris. Ini merupakan paket soal yang masih cukup
sulit bagiku tapi mau tak mau suka tidak suka aku harus mengahadapinya. Dilanjutkan
pengetahuan umum. STIS hanya diperuntukkan bagi anak-anak IPA tapi untuk tes
tahap pertama ini, anak-anak IPA harus berurusan dangan soal-soal yang tak
biasa mereka hadapi. Dalam soal tersebut terdapat soal
ekonomi,sosiologi,TIK,BPS dan STIS.
Sebenarnya setelah selesai mengerjakan soal-soal tes kami disuruh
untuk mengikuti pembahasan. Tapi karena teman-temanku mengajak untuk
jalan-jalan, aku terpaksa ikut. Maklum, namanya juga ngebonceng. Kami pergi ke
Mall. Viko yang mengajak kami. Ia ingin memperbaiki jamnya yang rusak. Kami
sempat naik turun eskalator sebelum akhirnya menemukan tempat makan.
Aku duduk bersama Viko pada satu meja sementara Puji,Ichwan,Mustika
dan Sukri duduk pada meja di sebelah kami. Waktu palayannya datang dengan
menyodorkan daftar menu, aku tak tahu mau memesan apa. Jadi aku samakan saja
dengan Viko. Suasananya redup. Lampunya terhalangi sebuah bahan transparan
sehingga tidak silau. Suara musik yang terdengar cukup keras menemani kami
menunggu datangnya pesanan. Suaranya menggelegar. Mungkin untuk beberapa orang
suara itu dirasa sangat mengganggu karena kerasnya.
Di sebelah kiri dari tempat dudukku ada dinding kaca yang sudah retak.
Disitu ada tulisan kecil “awas ada kaca”. Sementara di depan ada sebuah tv
kecil tergantung. Di lantas atas terlihat dari tempat dudukku orang-orang
sedang bermain biliar.
Aku terhenyak ketika akan membayar. Ternyata aku habis tiga puluh ribu
rupiah. Padahal yang aku makan hanya nasi goreng yang tak seberapa banyak
dengan tepung kopong berisi benda putih didalamnya. Ditambah air jeruk dengan
es yang sangat besar bahkan mungkin cairan dari es itu lebih banyak dengan air
jeruknya.
Kami segera pulang. Kami menempuh perjalanan panjang dibawah terik
matahari yang begitu menyengat dan membakar kulit. Kulihat jam di hpku sudah
menunjukkan pukul satu lebih sementara kami belum shalat. Di tengah perjalanan,
Ichwan mengingatkan Viko untuk mencari Masjid untuk shalat terlebih dahulu.
Kami pun berhenti di sebuah Masjid yang tepat berada di sebelah kiri jalan.
Masjid yang tak begitu besar tapi cukup bagus dan bersih. Kami bersitirahat
sejenak disana sambil melepas lelah.
Hpku bunyi. Ada sms dari Adi. “gung kamu juara 3”. Aku sangat gembira.
Aku langsung mencium jari telunjuk kananku lalu kuangkat ke atas untuk
mengingatkanku kepada-Nya. Karena Dialah yang telah memberi semua nikmat
kepadaku. Aku langsung menanyakan peringkat teman-temanku yang lain. Suci 13,
Viko 89 yang laen lupa, jawabnya.Tak lama kemudian hpku berbunyi lagi. Dapat
piala sama uang gung, sms Adi.
Kami melanjutkan perjalanan pulang. Kami menuju ke rumah Puji karena
aku akan mengambil motorku yang dititipkan disana. Di rumah Puji kami
beristirahat lagi. Wajar, perjalanan kami bukanlah perjalanan singkat. Kami
menempuh empat kabupaten kota sekaligus. Sedangkan aku menempuh lima kabupaten
kota karena rumahku di Lampung Timur.
Di rumah puji, kami disuguhi air minum dan beberapa potong buah. Aku
sempatkan untuk sms Adi. Hadiahnya kamu ambil dulu ya Di. Dia langsung
membalas. Oke gung tapi senen makan-makan ya.
Hari ini aku sangat senang. Meskipun perjalanan panjang harus aku
tempuh dari sebelum matahari terbit sampai akan terbenam. Perjalanan yang
melelahkan dan menguras tenaga. Tapi aku mendapatkan hasil yang tak terpikirkan
sedikitpun di benakku. Hasil yang luar biasa bagiku. Terima kasih ya Allah.