Tuesday 14 August 2012

Perbudakan Kebiasaan



Secara individual seorang muslim lahir dari rahim ibunya ke dunia dengan sebuah harapan besar : menjadi manusia yang utuh (Insan Kaamil), manusia mnggul (Insan Falah), dan manusia terbaik (Khoirul Basyar). Dalam skala yang lebih luas (komunal) umat Islam dilahirkan Allah ke tengah umat manusia untuk menjadi umat terbaik (Khairu Ummah / The Best Society), komunitas teladan, pembimbing dan pengarah bagi umat lain.

Sebagai manusia unggul dan utuh sekaligus sebagai umat teladan, pembimbing dan pengarah tentu bukan pekerjaan mudah. Artinya umat Islam baru bisa menjalankan fungsi tersebut apabila memiliki keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki oleh umat yang dibimbingnya. Keutamaan itu antara lain akhlak dan moralitas yang tinggi, aqidah dan keyakinan yang bersih, penguasaan iptek yang baik dan memiliki sifat amanah dan rasa keadilan yang besar. Dan bulan Ramadhan dijadikan Allah sebagai base training, kawah candradimuka, kamp pelatihan untuk meraih semua keutamaan di atas.

Untuk menyiapkan keutamaan tersebut, yang pertama kali umat Islam harus terbebas dari perbudakan kebiasaan baik secara jasmani maupun rohani. Hal itu dibutuhkan karena pada hakekatnya manusia cenderung untuk terkondisi atau terpola oleh situasi dan kondisi lingkungannya baik secara lahir maupun batin. Tidak bisa dibantah bahwa kekuatan kebiasaan (habit strength) memiliki peranan yang cukup besar untuk membentuk karakter dan tingkah laku seseorang bahkan juga struktur kepribadiannya.

Perbudakan kebiasaan terhadap jasmani manusia dapat dilihat secara nyata dari pola perilaku makannya. Seseorang yang sudah terbiasa makan pagi pukul 07.00, makan siang pukul 12.00, dan makan malam pukul 19.00, maka secara otomatis ia akan cenderung mempertahankan pola tersebut. Apabila suatu hari karena suatu hal orang tadi baru dapat sarapan pukul 09.00, maka secara teoritis seharusnya ia akan makan siang pukul 12.00 (mundur dua jam dari waktu kebiasaannya).

Tapi ternyata tidak. Karena pada kenyataannya waktu biologis seseorang tidak ditentukan oleh keteraturan waktu objektifnya. Dia lebih mengikuti pola kebiasaan yang membentuknya. Maka sangat logis jika saat orang itu pada beberapa jam kemudian mendengar lonceng di perpustakkan berdentang dua belas kali, secara spontan perutnya menjadi lapar dan menuntut untuk makan siang. Walaupun tiga jam yang lalu dia baru saja menyelesaikan makan paginya.

Jika demikian halnya, apa bedanya manusia dengan anjing pavlov yang segera mengeluarkan air liur begitu mendengar metronom (lonceng) berbunyi meskipun tidak diikuti dengan datangnya sepotong daging. Tentu ini merupakan penurunan harkat dan martabat manusia yang begitu mulia menjadi harkat binatang yang rendah. Manusia telah berubah menjadi seonggok tulang dan daging yang di dalamnya berisi kumpulan refleks dan tidak memiliki kemampuan untuk menunda kebutuhan (delay problem) yang merupakan salah satu hal yang memanusiakan kemanusiaan manusia. Betapa lemahnya dan hinanya manusia yang seperti ini. Hal ini memang sudah disinyalir Allah dalam Al-Qur’an : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan. Kemudian Kami turunkan (derajat) mereka ke tempat yang paling rendah” (QS At-Tiin 4-5).
Comments
0 Comments

No comments: