Secara individual seorang muslim
lahir dari rahim ibunya ke dunia dengan sebuah harapan besar : menjadi manusia
yang utuh (Insan Kaamil), manusia mnggul (Insan Falah), dan manusia terbaik (Khoirul
Basyar). Dalam skala yang lebih luas (komunal) umat Islam dilahirkan Allah ke
tengah umat manusia untuk menjadi umat terbaik (Khairu Ummah / The Best
Society), komunitas teladan, pembimbing dan pengarah bagi umat lain.
Sebagai manusia unggul dan utuh
sekaligus sebagai umat teladan, pembimbing dan pengarah tentu bukan pekerjaan
mudah. Artinya umat Islam baru bisa menjalankan fungsi tersebut apabila
memiliki keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki oleh umat yang dibimbingnya.
Keutamaan itu antara lain akhlak dan moralitas yang tinggi, aqidah dan
keyakinan yang bersih, penguasaan iptek yang baik dan memiliki sifat amanah dan
rasa keadilan yang besar. Dan bulan Ramadhan dijadikan Allah sebagai base
training, kawah candradimuka, kamp pelatihan untuk meraih semua keutamaan di
atas.
Untuk menyiapkan keutamaan tersebut, yang
pertama kali umat Islam harus terbebas dari perbudakan kebiasaan baik secara
jasmani maupun rohani. Hal itu dibutuhkan karena pada hakekatnya manusia
cenderung untuk terkondisi atau terpola oleh situasi dan kondisi lingkungannya
baik secara lahir maupun batin. Tidak bisa dibantah bahwa kekuatan kebiasaan
(habit strength) memiliki peranan yang cukup besar untuk membentuk karakter dan
tingkah laku seseorang bahkan juga struktur kepribadiannya.
Perbudakan kebiasaan terhadap jasmani
manusia dapat dilihat secara nyata dari pola perilaku makannya. Seseorang yang
sudah terbiasa makan pagi pukul 07.00, makan siang pukul 12.00, dan makan malam
pukul 19.00, maka secara otomatis ia akan cenderung mempertahankan pola
tersebut. Apabila suatu hari karena suatu hal orang tadi baru dapat sarapan pukul
09.00, maka secara teoritis seharusnya ia akan makan siang pukul 12.00 (mundur
dua jam dari waktu kebiasaannya).
Tapi ternyata tidak. Karena pada
kenyataannya waktu biologis seseorang tidak ditentukan oleh keteraturan waktu
objektifnya. Dia lebih mengikuti pola kebiasaan yang membentuknya. Maka sangat
logis jika saat orang itu pada beberapa jam kemudian mendengar lonceng di
perpustakkan berdentang dua belas kali, secara spontan perutnya menjadi lapar dan
menuntut untuk makan siang. Walaupun tiga jam yang lalu dia baru saja
menyelesaikan makan paginya.
Jika demikian halnya, apa bedanya
manusia dengan anjing pavlov yang segera mengeluarkan air liur begitu mendengar
metronom (lonceng) berbunyi meskipun tidak diikuti dengan datangnya sepotong
daging. Tentu ini merupakan penurunan harkat dan martabat manusia yang begitu
mulia menjadi harkat binatang yang rendah. Manusia telah berubah menjadi
seonggok tulang dan daging yang di dalamnya berisi kumpulan refleks dan tidak
memiliki kemampuan untuk menunda kebutuhan (delay
problem) yang merupakan salah satu hal yang memanusiakan kemanusiaan
manusia. Betapa lemahnya dan hinanya manusia yang seperti ini. Hal ini memang
sudah disinyalir Allah dalam Al-Qur’an : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dengan sebaik-baik penciptaan. Kemudian Kami turunkan (derajat) mereka
ke tempat yang paling rendah” (QS At-Tiin 4-5).