Praktik korupsi menjadi marak akibat
sistem hukum yang lemah dan masih belum mampu memberikan efek jera bagi para
koruptor. Praktik korupsi yang kini tidak hanya terjadi pada institusi
kementeriaan, tetapi juga pada hampir semua institusi pemerintah di pusat
ataupun daerah. Korupsi yang semakin merajalela akhir-akhir ini lebih
disebabkan tidak adanya faktor yang bisa
menumbuhkan efek jera. Ketiadaan efek jera itu mencerminkan lemahnya sistem
hukum.
Kesalahan utamanya adalah desain
politik kita dibentuk tanpa sistem hukum yang kuat. Desain politik di Indonesia yang tidak didukung dengan sistem hukum yang
kuat sangat mendorong praktik politik yang diwarnai dengan tindak korupsi oleh
para politikus. Akibatnya hukum tak berwibawa dan menjadi subordinasi politik.
Para koruptor bisa menjadi penguasa. Dengan posisi itulah, desain hukum kita
direkayasa.
Demokrasi di Indonesia memang tampak
kuat dengan diadakannya pemilihan umum langsung, pemilihan kepala daerah, serta
kebebasan media dan partai politik. Namun
supremasi hukum sebenarnya tidak benar-benar berjalan. Hasilnya, demokrasi kita
tumbuh tetapi tak berkembang. Inilah yang disebut sebagai demokrasi yang cacat.
Modus yang sering dilakukan para koruptor
dalam era demokrasi yang cenderung tidak baik sekarang ini adalah dengan
menggunakan sumber daya keuangannya untuk ikut berpolitik dan mengambil alih
kekuasaan melalui pemilu. Sehingga ketika sudah berkuasa, korupsinya semakin
hebat. Bahkan, mereka bisa melemahkan sistem hukum untuk melancarkan praktik
korupsi maka terbentuklah rezim demokrasi kriminal.
Hukum yang lemah merupakan keadaan
yang sangat kondusif bagi para koruptor untuk menjadi penguasa. Kolaborasi
kekuatan uang dan popularitas menenggelamkan politikus yang benar-benar amanah
dan punya kapasitas sehingga wajar jika kesejahteraan rakyat sulit untuk
ditingkatkan. Itu karena substansi demokrasi ini sudah dirampok para penjahat
politik melalui praktik korupsinya. Akhirnya, segelintir elit saja yang
sejahtera, sementara rakyat tetap sengsara.
Degradasi moral pejabat negara juga
turut menyebabkan korupsi di Indonesia begitu marak. Bagi mereka korupsi adalah suatu hal yang
wajar dan menjadi hobi yang harus direalisasikan. Bahkan telah mengakar kuat
serta menjadi budaya dalam dunia perpolitikan Indonesia. Maka dari itu, perlu
adanya penanganan yang tepat dalam menghadapi penyakit tersebut, agar tidak
berdampak buruk bagi kehidupan bangsa dan negara.
Pemimpin seharusnya bisa menjadi
teladan yang baik bagi rakyatnya. Memberikan pelayanan yang dibutuhkan dan
mampu menjaga kepercayaan rakyat yang telah mempercayakan untuk dipimpinnya.
Akan tetapi, orang yang dianggap wakil rakyat ini dengan sadarnya melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan moralitas seorang pemimpin.
Inilah yang dinamakan degradasi moral kaum elit
politik.
Tiada kesadaran dari para penguasa
dalam memimpin rakyatnya. Seolah-olah mereka apatis terhadap apapun yang
dialami oleh rakyatnya. Tanggung jawab yang diemban seakan-akan memanglah suatu
sunah. Kalaupun tidak dilaksanakan,
tiadalah beban moral yang dideritanya. Hal itu dipicu karena keinginan bergaya
hidup yang hedonis. Gaya hidup yang suka bermewah-mewahan ini mendorong mereka
untuk mencari jalan pintas, yaitu dengan cara menjadi seorang koruptor. Bahkan
bagi mereka, peran rakyat tiada apa-apanya. Karena anggapan mereka, suara rakyat
telah dibeli pada saat pemilu dengan sistem money
politic.
Namun, hal itu bukan berarti seorang
pemimpin dapat menjalankan kepemimpinannya dengan sesuka hati. Akan tetapi,
paling tidak seorang pemimpin harus bisa bertindak sesuai dengan moral
kepemimpinan. Pemimpin yang bersih dari korupsi dan mampu menjadi wakil rakyat
yang peduli terhadap kehidupan rakyat mungkin itu cukup. Rakyat sangat
mendambakan sosok pemimpin yang bersih dari korupsi, pemimpin yang memiliki
moral yang selayaknya dimiliki oleh seorang pemimpin, bukan pemimpin dengan
moral yang buruk lantas mengatur hukum sedemikian untuk menciptakan rezim korup
di dalam pemerintahan.
Daftar Pustaka :